Senin, 26 Desember 2011

blckudus.fordeon.com

ANTARA RITUAL DAN TRADISI

KHUTBAH I

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،

أَمّا بَعْدُ ..

MAASYIRAL MUSLIMIN RAHIMAKUMULLAH

Pengertian puasa sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama ialah menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum, bersetubuh, dan lain-lain sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, dengan niat menjalankan ibadah puasa yang dilakukan sebelum fajar, dan semua orang sudah mengetahuinya. Namun substansi yang sesungguhnya dari puasa itu ternyata banyak yang belum mengetahuinya.

Puasa bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga serta bersetubuh semata, melainkan menahan dari nafsu dalam diri kita. Nafsu apa saja, termasuk nafsu ingin membalas dendam, nafsu untuk menguasai sesuatu yang bukan miliknya, nafsu untuk mengadu domba, dan nafsu jelek lainnya.

Puasa yang diwajibkan oleh Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183

$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,

Dalam QS Al-Baqarah ayat 183 tersebut, mengamanatkan sebuah tujuan mulia, yakni agar orang yang menjalankannya dapat menjadi muttaqin. Sedangkan kata muttaqin yang berarti orang yang bertaqwa itu merupakan kondisi ideal, dimana seseorang akan melakukan segala hal yang baik dan bermanfaat, baik bagi dirinya, orang lain maupun lingkungannya secara tulus. Dalam bahasa agama biasa disebut sebagai orang yang menjalankan seluruh perintah Allah dan sekaligus menjauhkan diri dari larangan-Nya.

Jadi puasa sesungguhnya mempunyai tujuan yang amat mulia, yakni membuat umat manusia menjadi tertib, taat aturan, menghormati pihak lain, peka terhadap penderitaan orang lain, tergerak untuk membantu yang kekurangan, dan sifat baik lainnya. Hanya saja kebanyakan dari umat Islam biasanya memandang puasa hanya sebagai kewajiban ritual semata yang dibebankan oleh Tuhan, sehingga terkadang pula pelaksanaannya juga seperti “terpaksa”.

Andaikata puasa merupakan sebuah pilihan, kiranya hampir tidak ada yang akan memilih berpuasa. Bahkan kalau diperbolehkan memilih antara berpuasa dengan membayar ganti sejumlah uang pun, kiranya diantara umat akan banyak yang memilih membayar ganti tersebut. Itulah kenyataan yang ada pada kebanyakan umat Islam saat ini. Mereka pada pokoknya menganggap puasa hanya sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, tanpa lebih jauh mencari sesuatu dibalik perintah puasa tersebut. Akibatnya puasa yang dilaksanakan sebulan penuh tidak akan memberikan dampak apapun dalam kehidupan. Bahkan yang ada hanyalah menjalankan kewajiban dengan penuh keterpaksaan dan pada akhir bulan merasa menang karena dapat menjalankan perintah.

Akibat lebih jauhnya ialah orang yang menjalankan puasa akan tetap pada watak dan sifat aslinya seperti sebelum menjalankan puasa; yang bakhil tetaplah bakhil, yang malas tadarus tetaplah malas, yang sering melakukan maksiat tetap melakukannya dan seterusnya.

Memang puasa itu merupakan ibadah atau ritual yang mesti dilakukan oleh orang Islam, tetapi bukan sekedar ritual yang berkonotasi balasan pahala di akhirat, melainkan ada tujuan tertentu yang sangat mulia, yakni ingin menjadikan pelakunya sebagai orang bertaqwa dan salih, baik secara individual maupun secara sosial. Pada ujung surat al-Baqarah : 183 tersebut dengan jelas disebutkan “agar kalian bertaqwa”.

Berangkat daritujuan tersebut, pelaksanaan puasa seharusnya melibatkan ritual lainnya yang sangat erat berkaitan, seperti shalat tarawih, berjamaah saat menjalankan shalat fardu, tadarus al-Qur’an, mengkaji hadis nabi dan membaca buku-buku keagamaan lainnya dan bahkan melakukan sedekah sebagai buah dari perenungan yang dalam saat menjalankan puasa.

Semua ritual tersebut berfungsi sebagai dukungan untuk meraih tujuan yang ditetapkan, yakni agar dapat menjadikan pelaku puasa sebagai pribadi yang muttaqin.

Jadi, perintah menjalankan ibadah puasa sesungguhnya bukan hanya sekedar perintah untuk dilaksanakan sebagaimana perintah-perintah lainnya, melainkan ada tujuan tertentu yang diharapkan dapat diraih pelakunya. Karena itulah perintah puasa tidak cukup hanya untuk dikerjakan, melainkan harus juga diupayakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan diraihnya tujuan menjadi muttaqin.

Sebagai upaya untuk mendapatkan tujuan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa hal; niatkan puasa itu hanya semata-mata karena Allah dengan kesadaran bahwa perintah puasa untuk kebaikan manusia. Kemudian pada saat menjalankan puasa, hindari beberapa perbuatan yang dapat menghanguskan pahala puasa seperti berbohong, mencaci maki, adu domba, iri, dengki, dendam, dan lainnya. Dan terakhir renungkan dalam-dalam pada saat berpuasa, terutama setelah melebihi separo hari, dimana rasa lapar dan dahaga telah merasuki tubuh. Bayangkan seandainya kita dalam posisi seperti itu untuk selamanya, bagaimana rasanya hidup dengan serba kekurangan, tidak bisa makan dan minum, bukan karena sebab lain melainkan karena memang tidak punya sesuatu yang dapat dimakan atau diminum.

Dengan upaya seperti itu insya Allah kepekaan akan dapat tumbuh dalam diri kita untuk kemudian mendorong untuk berbagi dengan sesama. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang yang menjalankan ibadah puasa. Meskipun secara syariat akan tetap dianggap sah manakala ada orang yang menjalankan puasa semata hanya untuk memenuhi kewajiban.

Memang harus diakui bahwa perilaku masyarakat kita sangat beragam dalam menyikapi puasa; ada sebagian yang memang fokus terhadap puasa dengan berupaya melakukan berbagai aktivitas yang dapat menunjang amalan puasa sehingga akan sampai kepada tujuan. Tetapi ada juga yang justru tertarik menjalankan tradisi yang sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan puasa itu sendiri, sehingga tampak hanya sekedar menjalankan kewajiban semata.

Sementara itu, beberapa tradisi yang mengiringi puasa yang sesungguhnya tidak termasuk dalam pelaksanaan puasa, tetapi sering dilakukan oleh umat Islam antara lain tradisi nyekar ke makam, yang dilakukan menjelang puasa Ramadhan maupun akhir Ramadhan, Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian, dapat mendoakan mereka sewaktu-waktu. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu seperti menjelang Ramadhan dan meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang mengajarkan hal ini. Syeikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya seputar masalah ini: Apakah ziarah kubur pada hari-hari raya halal atau haram ?Beliau menjawab: hal itu tidak mengapa, kapan saja boleh, tetapi mengkhususkannya pada hari raya tidak benar, apabila mempercayai bahwa ziarah pada hari raya lebih utama atau semacamnya, adapun apabila pengkhususan dikarenakan waktu yang luang, maka tidak mengapa karena ziarah tidak ada waktu yang khusus, boleh berziarah dimalam hari atau siang, pada hari-hari raya atau selainnya, tidak ada ketentuannya, tidak ada waktu yang khusus, karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: (ziarahilah kuburan, karena itu dapat mengingatkan kepada kalian akhirat), dan beliau tidak menentukan waktunya, maka setiap muslim dapat menziarahinya disetiap waktu, dimalam hari, dan siang, dan pada hari-hari raya, dan lainnya. Namun tidak mengkhususkan hari tertentu dengan maksud bahwa hari itu lebih utama dari lainnya, adapun jika mengkhususkannya karena tidak ada waktu selain itu maka tidak mengapa.

Tradisi mandi besar besar sebelum menjalankan ibadah puasa, Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya dengan ikhtilath campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

Mudik untuk bersilaturrahmi dan halal bihalal, dan lainnya. Tetapi anehnya tradisi seperti itu tidak hanya sering diamalkan, malahan justru menjadi perhatian utama banyak orang dan bahkan ada yang sudah menganggapnya sebagai suatu ‘kewajiban”.

Kebiasaan belanja besar-besaran ketika menyambut Ramadhan. Hal ini sebenarnya malah bertentangan dengan satu maksud dan tujuan puasa yaitu supaya kita prihatin ikut merasakan penderitaan kaum fakir miskin, bukan justru memindahkan waktu makan atau malah menambah porsi makan kita dari di luar Ramadhan. Apalagi hal seperti ini dapat mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Kalau kita bercermin pada para salaf dahulu, dimana untuk menyambut Ramadhan mereka lebih mempersiapkan fisik dan mental dengan melakukan pemanasan ibadah di bulan Sya’ban, barangkali untuk memaksimalkan ibadah dibulan Ramadhan.

Jika kita melihat kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibulan Sya’ban sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau banyak berpuasa dibulan tersebut.

Begitu juga para salaf dahulu sudah mulai memperbanyak bacaan Al-Qur’an sejak bulan Sya’ban. Salamah bin Kuhail berkata: Dahulu kami menyebut bulan Sya’ban sebagai bulan para pembaca Al-Qur’an. ‘Amru bin Qois ketika masuk bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan menyibukkan dengan membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau ketika dibulan Ramadhan mengurangi aktivitas dakwah dan memperbanyak ibadah dan khalwat dengan Rabnya. Inilah cara para salaf dahulu menyambut bulan Ramadhan yang mulia ini.

Apalagi menyambut Ramadhan dengan bermain petasan dan mercun. Ini jelas dilarang dalam Islam, karena selain menghamburkan harta untuk hal yang tidak bermanfaat, karena setiap rupiah yang kita belanjakan akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’alaa, juga dapat menganggu orang lain yang pastinya juga diharamkan apalagi saat bulan Ramadhan ketika kebanyakan manusia tengah khusyuk dalam beribadah.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ الله لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرّحِيْمُ